Tiga Pilar Kekuatan Santri: Memahami Jiwa Profetik-Humanistik di Pesantren

 


Pendahuluan: Kisah Santri Baru dan Resep "Krasan" di Pondok

Setiap pengasuh pesantren pasti pernah melihat pemandangan ini: di sudut asrama yang ramai, seorang santri baru duduk termenung, matanya menerawang jauh. Ia rindu masakan ibu, rindu canda tawa adik, rindu kamarnya yang nyaman. Perasaan asing, sepi, dan homesick ini adalah ujian pertama yang harus dihadapi di medan perjuangan ilmu. Ia bertanya dalam hati, "Apakah aku akan betah di sini?"

Di tengah kegelisahannya, seorang santri senior mendekat. Bukan dengan suara lantang atau perintah, melainkan dengan tepukan lembut di bahu dan sapaan hangat, "Sendirian saja, dik? Sudah makan malam?" Pertanyaan sederhana itu membuka pintu percakapan. Sang senior tidak menghakimi, hanya mendengarkan. Ia berbagi cerita tentang hari-hari pertamanya yang juga berat, meyakinkan bahwa perasaan itu wajar dan akan berlalu.

Interaksi singkat seperti ini bukanlah kebetulan, melainkan buah dari sebuah sistem pembinaan yang kami rancang secara sadar, yang kami sebut jiwa Profetik-Humanistik. Ini adalah resep rahasia, sebuah kompas batin yang mengubah pesantren dari sekadar tempat belajar menjadi sebuah rumah yang hangat dan suportif. Ini bukanlah teori yang rumit, melainkan sebuah cara pandang dan cara bertindak yang berakar pada keteladanan Nabi Muhammad SAW, yang selalu memanusiakan manusia.

Resep ini memiliki tiga pilar utama yang menjadi fondasi kekuatan setiap santri: Humanisasi, Naturalisasi, dan Transendensi. Esai ini akan mengupas ketiga pilar tersebut melalui perumpamaan dan cerita kehidupan sehari-hari di pesantren, agar kita dapat memahami bagaimana jiwa profetik-humanistik ini bekerja.

Mari kita selami pilar pertama, fondasi dari segala interaksi di pondok: memanusiakan manusia.

1. Pilar Pertama: Humanisasi – Membangun Rumah yang Penuh Kasih Sayang (Rahmah)

Definisi Sederhana: Jika kita ibaratkan komunitas pesantren sebagai sebuah bangunan, maka Humanisasi adalah fondasinya. Pilar ini kami jadikan landasan untuk mengajarkan tentang penciptaan lingkungan yang aman secara fisik dan emosional, di mana martabat setiap santri dihargai tanpa terkecuali. Pilar ini menuntun kami untuk membangun ketahanan hidup (Ḍamān al-Ḥayāh) dan etika sosial yang luhur (Adab Ijtimāʿī). Tujuannya sederhana: memastikan setiap santri merasa diterima dan terlindungi.

Cerita Ilustratif: Suatu sore, Ahmad, seorang santri baru, berjalan tergesa-gesa sambil membawa ember berisi air. Karena lantainya sedikit licin, ia terpeleset dan air di embernya tumpah, membasahi sebagian tumpukan kitab kuning milik Kang Yusuf, kepala kamarnya. Jantung Ahmad berdebar kencang. Pikirannya langsung membayangkan bentakan, hukuman, atau setidaknya tatapan sinis—sebuah cerminan dari relasi kuasa senior-yunior kaku yang sering ia dengar.

Namun, yang terjadi di luar dugaannya. Kang Yusuf, yang telah memahami nilai humanisasi, justru segera menghampiri Ahmad dan bertanya, "Kamu tidak apa-apa? Ada yang sakit?" Setelah memastikan Ahmad baik-baik saja, ia tersenyum dan berkata, "Kitabnya bisa dikeringkan, yang penting kamu tidak terluka. Ayo, kita bersihkan sama-sama. Lain kali lebih hati-hati, ya." Tindakan sederhana ini mencerminkan nilai rahmah (kasih sayang) dan menjaga ukhuwah (persaudaraan) di atas segalanya.

Sintesis dan "So What?": Inilah inti dari Humanisasi: mengubah potensi konflik menjadi momen untuk mempererat persaudaraan. Ketika santri, terutama yang baru, merasa aman secara emosional dan tidak hidup dalam ketakutan, mereka akan lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi tantangan hidup di pondok. Fondasi yang kokoh ini memungkinkan mereka untuk fokus belajar, beribadah, dan bertumbuh.

"Humanisasi adalah seni melihat manusia di dalam diri teman kita, bukan sekadar melihat status senior atau yunior."

Setelah fondasi rumah ini kokoh, saatnya kita melihat bagaimana setiap penghuninya dibiarkan tumbuh sesuai keunikannya masing-masing melalui pilar kedua.

2. Pilar Kedua: Naturalisasi – Menemukan Bintang dalam Diri Setiap Santri

Definisi Sederhana: Melalui pilar Naturalisasi, kami membimbing setiap santri untuk mengenali, menghargai, dan mengembangkan potensi unik (fitrah) yang telah Allah anugerahkan kepada setiap individu. Bayangkan pesantren sebagai sebuah taman bunga. Ada mawar yang indah karena kelopaknya, melati yang harum karena aromanya, dan anggrek yang menawan karena warnanya. Tugas kami bukan memaksa melati menjadi mawar, melainkan membantunya tumbuh subur sebagai melati terbaik. Pilar ini bertujuan untuk menumbuhkan kemuliaan dan harga diri (ʻIzzat al-Nafs) serta mendorong kualitas unggul dalam setiap perbuatan (Itqān al-ʿAmal).

Cerita Ilustratif: Di sebuah kamar, hiduplah dua sahabat karib, Hasan dan Idris. Hasan memiliki daya hafal yang luar biasa; dalam sebulan ia sudah lancar menyetor beberapa juz Al-Qur'an. Sementara itu, Idris sangat kesulitan dalam hafalan, membuatnya sering merasa minder dan tidak berharga. Namun, Idris memiliki bakat lain: ia sangat pandai mengorganisir dan memimpin. Setiap kali ada acara, seperti peringatan Maulid Nabi, Idris-lah yang memastikan semuanya berjalan lancar.

Seorang ustadz pembimbing yang bijak memperhatikan hal ini. Beliau tidak memarahi Idris karena hafalannya yang lambat. Sebaliknya, beliau memanggil Idris dan memberinya amanah untuk menjadi ketua panitia acara Haul Masyayikh. Dengan bimbingan sang ustadz, Idris berhasil menyelenggarakan acara dengan sangat baik (Itqān al-ʿAmal), bahkan mendapat pujian dari para pengasuh. Keberhasilan itu memadamkan rasa mindernya dan menumbuhkan kembali harga dirinya (ʻIzzat al-Nafs). Ia sadar, Allah memberinya kelebihan di bidang yang berbeda dari sahabatnya.

Sintesis dan "So What?": Inilah wujud strategi pendidikan kami: menciptakan para pembimbing yang jeli melihat potensi, bukan sekadar menghakimi kekurangan. Melalui Naturalisasi, kami mengajarkan para santri untuk menggeser fokus dari 'kekurangan' ke 'kelebihan'. Ini adalah cara pesantren membantu setiap santri untuk bersinar dengan cahayanya sendiri, bukan dengan cahaya orang lain. Manfaat dari pilar ini sangat jelas:

  • Menumbuhkan Kepercayaan Diri: Setiap santri merasa berharga karena potensinya diakui dan diberi ruang untuk berkembang.
  • Menciptakan Keunggulan Kolektif: Pesantren menjadi kuat karena setiap santri berkontribusi sesuai bakatnya, seperti sebuah orkestra di mana setiap alat musik memainkan perannya yang unik.
  • Menghindari Perasaan Iri: Santri belajar untuk saling menghargai perbedaan dan keunikan, bukan terus-menerus membanding-bandingkan diri.

Namun, untuk apa semua fondasi yang kokoh dan bunga-bunga yang indah ini jika tidak memiliki tujuan yang lebih tinggi? Di sinilah pilar terakhir menyempurnakan segalanya.

3. Pilar Ketiga: Transendensi – Mengikat Setiap Langkah dengan Tali Ilahi

Definisi Sederhana: Kami meletakkan pilar Transendensi sebagai tujuan akhir dari semua aktivitas kita. Ibarat sebuah kompas, pilar ini memastikan bahwa setiap langkah kita selalu menunjuk ke satu arah: keridhaan Allah SWT. Transendensi adalah tentang meniatkan setiap perbuatan baik—baik kepada sesama (Humanisasi) maupun dalam pengembangan diri (Naturalisasi)—sebagai bentuk ibadah. Inilah puncak dari perjalanan seorang santri, yaitu mencapai keselarasan dalam hubungan dengan Tuhan, sesama, dan alam (Insijām al-Tawḥīd).

Cerita Ilustratif: Menjelang acara Haul Masyayikh yang dipimpin oleh Idris, seluruh santri di asramanya bekerja bakti membersihkan lingkungan pondok. Hasan, yang jago hafalan, dengan sigap menyapu halaman. Idris, sang organisator ulung, mengatur pembagian tugas. Aktivitas ini tampak seperti kerja bakti biasa.

Saat istirahat, Pengasuh Pondok menghampiri mereka dan memberikan taujihat (wejangan) singkat. "Anak-anakku," kata beliau, "Jangan kira sapu yang kalian pegang itu benda mati. Jika kalian niatkan kebersihan ini karena cinta kepada Allah yang Maha Indah, maka sapu itu akan menjadi saksi ibadah kalian di akhirat kelak. Setiap debu yang kalian bersihkan bisa menjadi pemberat timbangan amal." Nasihat itu seketika mengubah suasana. Kerja bakti yang tadinya terasa melelahkan, kini menjadi sebuah zikir dalam perbuatan, sebuah cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Sintesis dan "So What?": Pilar inilah yang kami tanamkan untuk memberikan makna dan energi spiritual pada setiap tindakan. Dengan pilar ini, menolong teman yang kesulitan (Humanisasi) bukan lagi sekadar kewajiban sosial, melainkan wujud meneladani sifat Ar-Rahman. Mengasah bakat (Naturalisasi) bukan lagi untuk membanggakan diri, tetapi untuk mensyukuri nikmat akal yang Allah berikan. Pilar ini mengubah yang biasa menjadi luar biasa.

Aktivitas Biasa

Makna Setelah Transendensi

Membantu teman yang sakit

Meneladani sifat penyayang Allah & mencari ridha-Nya

Belajar dengan tekun

Mensyukuri nikmat akal & beribadah melalui ilmu

Menjaga kebersihan kamar

Mencintai keindahan sebagai cerminan cinta pada Allah

Ketika ketiga pilar ini berdiri kokoh, lahirlah sosok santri yang utuh, yang akarnya menghunjam ke bumi dan puncaknya menggapai langit.

Kesimpulan: Santri Sebagai Pohon yang Kokoh

Pada akhirnya, tiga pilar kekuatan ini membentuk seorang santri menjadi laksana sebatang pohon yang kokoh dan bermanfaat.

  • Humanisasi adalah tanah yang subur dan akar yang kuat. Lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang memberinya nutrisi emosional untuk tumbuh tanpa rasa takut.
  • Naturalisasi adalah batang dan dahan yang tumbuh unik dan kokoh sesuai kodratnya, menjulang tinggi dengan segala potensi yang dimilikinya.
  • Transendensi adalah buah manis yang dihasilkan pohon itu. Manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri, tetapi juga untuk seluruh alam, sebagai persembahan terbaik kepada Sang Pencipta.

Inilah jiwa yang sedang kami tumbuhkan dan lembagakan melalui sebuah program rintisan (pilot project) di Pondok Pesantren Assunniyyah Kencong Jember. Santri yang jiwanya dibentuk oleh ketiga pilar inilah yang menjadi tujuan utama dari program kami, 'Gemas Ngetren' (Generasi Emas dari Pesantren). Mereka adalah generasi yang tangguh, berakhlak mulia, cerdas secara emosional, dan siap menjadi pelita di tengah masyarakat.

Maka, wahai anak-anakku para santri, ingatlah selalu slogan yang menjadi ruh gerakan ini: "Menebar Rahmah, Menjaga Ukhuwah." Jangan hanya belajar ilmu di pesantren, tetapi hidupkanlah jiwa profetik-humanistik ini dalam setiap tarikan napas, dalam setiap interaksi, dan dalam setiap langkah pengabdian kalian.

Tiga Pilar Kekuatan Santri: Memahami Jiwa Profetik-Humanistik di Pesantren Tiga Pilar Kekuatan Santri: Memahami Jiwa Profetik-Humanistik di Pesantren Reviewed by RMI PCNU Kencong on 11:25 Rating: 5

Tidak ada komentar