4 Fakta Mengejutkan di Balik Kisruh PBNU: Saat Aturan Main Lebih Kuat dari Jabatan Tertinggi
Artikel ini tidak akan membahas siapa yang benar atau salah secara politis. Sebaliknya, artikel ini akan membedah bagaimana satu kekeliruan interpretasi wewenang dapat memicu serangkaian pelanggaran yurisdiksi, prosedur, dan administrasi—sebuah efek domino yang menguji ketahanan konstitusi PBNU dalam sebuah constitutional stress test yang sesungguhnya. Temuan ini membuktikan bahwa dalam sebuah organisasi modern, aturan main yang disepakati bersama memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada jabatan tertinggi sekalipun.
--------------------------------------------------------------------------------
1. Jabatan "Pimpinan Tertinggi" Ternyata Bukan Otoritas Absolut
Akar masalah dari krisis ini adalah misinterpretasi fundamental terhadap kewenangan Rais 'Aam. Argumen utama dari pihak Syuriyah adalah posisinya sebagai "Pimpinan Tertinggi" PBNU, yang diklaim memberinya wewenang mutlak untuk mengambil alih kendali saat organisasi dianggap sedang dalam krisis. Logika ini memposisikan Rais 'Aam sebagai pemegang otoritas tunggal yang bisa memberhentikan Ketua Umum secara sepihak demi penyelamatan organisasi.
Namun, analisis mendalam terhadap AD/ART PBNU menunjukkan tafsir yang berbeda. Pasal 14 Anggaran Dasar memang menyebut Syuriyah sebagai "Pimpinan Tertinggi", tetapi tugasnya didefinisikan secara spesifik sebagai "mengarahkan" dan "mengawasi" pelaksanaan kebijakan. Kewenangan ini menempatkan Syuriyah sebagai Policy Maker (pembuat arah kebijakan), bukan Executive Executor (pelaksana eksekusi). Tidak ada satu frasa pun yang memberikan wewenang eksekutorial untuk "memecat" Ketua Umum yang dipilih dalam Muktamar. AD/ART justru mengamanatkan model kepemimpinan PBNU yang bersifat kolektif-kolegial, di mana keseimbangan kekuasaan dijaga.
Kewenangan "tertinggi" dalam konteks hukum organisasi biasanya dimaknai sebagai penentu arah garis besar haluan organisasi (Policy Maker), bukan pelaksana eksekusi harian personel (Executive Executor).
--------------------------------------------------------------------------------
2. Salah Kamar: Rapat Harian Tak Berwenang Memecat Mandataris Kongres
Kesalahan interpretasi wewenang di atas secara langsung menyebabkan kekeliruan berikutnya: pemilihan forum yang tidak tepat. Pihak Ketua Umum KH. Yahya Cholil Staquf secara tegas menyatakan posisinya sebagai "Mandataris Muktamar". Artinya, ia dipilih oleh forum permusyawaratan tertinggi NU, dan legitimasinya berasal dari ribuan perwakilan Cabang dan Wilayah. Berdasarkan asas hukum organisasi contrarius actus (siapa yang mengangkat, dia yang berwenang memberhentikan), hanya forum yang setingkat atau lebih tinggi yang berhak membatalkan mandat tersebut, yang menurut Pasal 73 AD PBNU adalah Muktamar Luar Biasa (MLB).
Faktanya, keputusan pemberhentian ini diambil dalam sebuah "Rapat Harian Syuriyah". Dalam hierarki forum PBNU, Rapat Harian adalah forum operasional rutin, sementara Muktamar dan MLB berada di puncak. Menggunakan Rapat Harian untuk memecat seorang mandataris Muktamar dapat dianalogikan seperti "mengadili kasus Mahkamah Konstitusi di tingkat pengadilan negeri". Ini adalah persoalan yurisdiksi atau kewenangan forum yang fundamental.
Analisis yuridis menyimpulkan bahwa penggunaan Rapat Harian untuk keputusan strategis sebesar ini adalah tindakan ultra vires (melampaui batas kewenangan) dan cacat yurisdiksi.
--------------------------------------------------------------------------------
3. Prosedur Wajib yang Dilompati: Tanpa Surat Peringatan, Tanpa Hak Membela Diri
Karena menggunakan forum yang tidak sah, para pengambil keputusan terpaksa melompati serangkaian prosedur wajib yang diatur secara ketat dalam konstitusi NU. Aturan main di PBNU, khususnya Peraturan Perkumpulan (Perkum) No. 13/2025, telah mengatur secara rinci prosedur pemberhentian seorang fungsionaris. Aturan ini mewajibkan adanya mekanisme peringatan bertahap, yaitu Surat Peringatan pertama (SP1) dan Surat Peringatan kedua (SP2), yang masing-masing memiliki jeda waktu satu bulan.
Dalam kasus ini, prosedur wajib tersebut sama sekali tidak dijalankan. Mekanisme SP diganti dengan ultimatum 3x24 jam untuk mundur, sebuah mekanisme yang tidak dikenal dalam konstitusi NU. Namun, pelanggaran prosedur yang paling fatal adalah fakta bahwa KH. Yahya Cholil Staquf dilarang hadir untuk memberikan klarifikasi atau pembelaan diri (tabayyun) dalam rapat yang menentukan nasibnya. Ini merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip keadilan universal, audi alteram partem (dengarkan kedua belah pihak).
Fakta bahwa Yahya Cholil Staquf dilarang hadir dalam rapat merupakan cacat prosedur fatal. Sebuah peradilan organisasi tidak boleh dilakukan secara in absentia jika terhukum ada di tempat dan bersedia hadir.
--------------------------------------------------------------------------------
4. Surat Pemecatan Cacat Formal: Dari Watermark 'Draft' Hingga Tanda Tangan Tak Lengkap
Puncak dari proses yang tergesa-gesa dan tidak prosedural ini adalah lahirnya sebuah dokumen yang cacat secara formal. Instrumen utama yang digunakan untuk mengumumkan pemberhentian—yaitu Surat Edaran—ditemukan memiliki sejumlah kelemahan administrasi serius yang melemahkan legitimasi dan kekuatan hukumnya. Temuan kunci antara lain:
- Masih Berstatus Draft: Dokumen surat edaran yang beredar masih memiliki watermark dengan tulisan 'draft', yang menimbulkan keraguan fundamental akan status finalnya.
- Tanda Tangan Tidak Lengkap: Surat keputusan strategis PBNU idealnya ditandatangani oleh empat pimpinan puncak (Rais ‘Aam, Katib ‘Aam, Ketua Umum, dan Sekretaris Jenderal) sebagai representasi kepemimpinan kolektif-kolegial yang menyeimbangkan wewenang Syuriyah dan Tanfidziyah. Surat ini hanya ditandatangani oleh Wakil Rais Aam dan Katib, bukan oleh Rais 'Aam dan Katib 'Aam itu sendiri.
- Administrasi Tidak Sah: Surat tersebut tidak mendapatkan stempel digital, dan nomor surat yang tercantum tidak dikenal dalam sistem administrasi resmi PBNU.
- Keabsahan Tanda Tangan Diragukan: Pihak Ketua Umum juga mempersoalkan keabsahan tanda tangan yang dipindai (scan) dalam dokumen digital tersebut.
Cacat administrasi seperti ini bukanlah sekadar kesalahan teknis. Dalam hukum organisasi, pemenuhan syarat formal adalah bukti bahwa sebuah keputusan telah melalui proses yang benar dan sah.
--------------------------------------------------------------------------------
Penutup: Ujian Konstitusi dan Masa Depan Organisasi
Berdasarkan analisis hukum yang mendalam terhadap AD/ART dan peraturan internal NU, tindakan pemberhentian Ketua Umum PBNU dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum (void ab initio). Keputusan ini runtuh bukan karena satu, melainkan karena efek domino pelanggaran fundamental yang mencakup aspek yurisdiksi, prosedur, dan administrasi.
Pada akhirnya, sengketa ini bukan hanya tentang siapa yang memimpin, tetapi tentang apakah sebuah organisasi besar mampu tunduk pada aturan main yang dibuatnya sendiri. Pelajaran apa yang bisa kita petik dari 'constitutional stress test' ini untuk masa depan demokrasi internal dan supremasi hukum di dalam organisasi sipil di Indonesia?
Reviewed by RMI PCNU Kencong
on
13:46
Rating:


Tidak ada komentar