Konstitusi NU: Relasi Otoritas Rais Aam dan Ketua Umum PBNU
Batas wewenang antara Rais Aam (selaku Pimpinan Tertinggi Syuriyah) dan Mandataris Muktamar Tanfiziyah (Ketua Umum) diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Nahdlatul Ulama melalui mekanisme hierarki kekuasaan, fungsi, dan prosedur pengambilan keputusan strategis.
AD-ART NU menetapkan struktur kepemimpinan yang membagi kekuasaan menjadi dua pilar utama, yaitu Syuriyah sebagai penentu kebijakan tertinggi dan Tanfiziyah sebagai pelaksana harian.
Berikut adalah garis besar pengaturan batas wewenang tersebut berdasarkan sumber:
1. Wewenang Rais Aam dan Syuriyah (Pimpinan Tertinggi)
Rais Aam adalah pimpinan tertinggi Syuriyah, yang bertindak sebagai badan pemegang kewenangan keulamaan.
- Hierarki dan Fungsi: Pasal 14 Anggaran Dasar (AD) menyatakan bahwa Syuriyah adalah "Pimpinan Tertinggi Nahdlatul Ulama". Kewenangan ini memberikan Syuriyah posisi supremasi moral dan kebijakan (Policy Maker).
- Arah dan Pengawasan: Tugas Syuriyah meliputi "Mengarahkan (Directive) dan Mengawasi (Supervisory) pelaksanaan keputusan-keputusan Muktamar dan kebijakan umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama". Kewenangan Rais Aam sebagai pimpinan tertinggi bersifat supervisi keulamaan dan kolektif-kolegial, dan bukan otoritas eksekutif unilateral atau absolut.
- Hak Veto: Rais Aam memiliki hak untuk membatalkan keputusan Tanfiziyah yang dianggap bertentangan dengan prinsip NU, tetapi kewenangan untuk memberhentikan personel berbeda dengan pembatalan keputusan.
- Batas Wewenang Pemecatan: Dalam konteks hukum organisasi, gelar "Pimpinan Tertinggi" ini tidak diterjemahkan menjadi otoritas eksekutif absolut yang bisa membatalkan mandat Muktamar tanpa prosedur. Tidak ada frasa eksplisit dalam AD-ART yang memberikan wewenang "Memberhentikan" (Dismissal) secara sepihak terhadap Ketua Umum Tanfiziyah di luar forum permusyawaratan.
2. Wewenang Mandataris Muktamar Tanfiziyah (Ketua Umum)
Ketua Umum Tanfiziyah diposisikan sebagai Mandataris Muktamar.
- Legitimasi Elektoral: Ketua Umum dipilih secara langsung oleh Muktamar, yang merupakan forum permusyawaratan tertinggi. Statusnya sebagai mandataris Muktamar memberikannya kontrak sosial langsung dengan konstituen (PCNU dan PWNU).
- Fungsi Eksekutif: Pasal 15 AD dan Pasal 19 ART mengatur bahwa Tanfiziyah adalah pelaksana. Ketua Umum memegang kendali eksekutif dengan tugas: "Memimpin, mengatur dan mengkoordinasikan pelaksanaan keputusan-keputusan Muktamar...".
3. Batas Wewenang dalam Mekanisme Pemberhentian
Batas wewenang yang paling krusial terletak pada mekanisme pemberhentian Ketua Umum, yang dipilih oleh forum tertinggi.
A. Asas Contrarius Actus Secara yuridis, pejabat yang diangkat dengan Keputusan Muktamar (SK Muktamar) tidak dapat diberhentikan oleh keputusan yang derajatnya lebih rendah (seperti Keputusan Rapat Harian Syuriyah/RHS). Berdasarkan asas contrarius actus (siapa yang mengangkat, dia yang berwenang memberhentikan), hanya Muktamar atau Muktamar Luar Biasa (MLB) yang berhak memberhentikan Ketua Umum.
B. Batasan Kewenangan Rapat Harian Syuriyah (RHS) Rapat Harian Syuriyah (RHS) berada di strata bawah dalam pengambilan keputusan strategis. Sumber menegaskan bahwa:
- RHS tidak memiliki kompetensi absolut untuk membatalkan mandat Muktamar.
- RHS dianggap ultra vires (melampaui kewenangan) karena keputusannya hanya mengikat pengurus harian Syuriyah, bukan Tanfiziyah (merujuk Peraturan Perkumpulan Nomor 10 Tahun 2025 Pasal 15 Ayat (3)).
- Menggunakan RHS untuk memecat Ketua Umum yang dipilih Muktamar adalah tindakan yang melampaui kewenangan (excess of jurisdiction).
C. Jalur Konstitusional untuk Pemberhentian Berat Jika Rais Aam menilai Ketua Umum melakukan pelanggaran berat, konstitusi NU menyediakan kanalnya: Muktamar Luar Biasa (MLB), sebagaimana diatur dalam Pasal 73 Anggaran Dasar.
- Pelanggaran berat adalah alasan (ground) untuk menggelar MLB, bukan alasan untuk pemecatan langsung.
- Rais Aam memiliki wewenang untuk menginisiasi atau menyetujui MLB, tetapi tidak memiliki wewenang untuk menjadi hakim sekaligus eksekutor tanpa melalui forum tersebut.
D. Prosedur Wajib (Due Process) ART dan Peraturan Perkumpulan juga membatasi tindakan pemberhentian dengan mewajibkan prosedur yang ketat (Pasal 11-12 ART dan Perkum No. 13 Tahun 2025):
- Peringatan Tertulis: Pemberhentian dilakukan setelah peringatan pertama (SP1) dan kedua (SP2) yang masing-masing berjarak waktu 1 bulan.
- Hak Membela Diri (Tabayyun): Pengurus wajib diberi kesempatan membela diri atau klarifikasi (tabayyun) sebelum sanksi dijatuhkan, yang dijamin oleh ART Pasal 41. Pelanggaran terhadap hak ini dianggap cacat prosedur fatal.
Dengan demikian, meskipun Rais Aam adalah Pimpinan Tertinggi dan pemegang otoritas kebijakan, kekuasaannya dibatasi oleh prinsip checks and balances organisasi. Tanfiziyah bertanggung jawab kepada Muktamar, bukan sebagai bawahan yang bisa dipecat sewaktu-waktu oleh Rais Aam tanpa prosedur yang ditetapkan melalui MLB.
Batasan wewenang ini dapat dianalogikan seperti hubungan antara Dewan Pengawas (Rais Aam/Syuriyah) dan Direktur Utama (Ketua Umum/Tanfiziyah) dalam sebuah perusahaan besar: Dewan Pengawas berhak menentukan visi, mengawasi kepatuhan pada aturan dasar, dan memveto kebijakan yang merusak perusahaan. Namun, Dewan Pengawas tidak dapat memberhentikan Direktur Utama yang dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham (Muktamar) hanya melalui rapat internal mereka sendiri; mereka harus memanggil kembali RUPS (MLB) untuk mengambil keputusan pemecatan final sesuai prosedur yang telah disepakati dalam Anggaran Dasar.
Reviewed by RMI PCNU Kencong
on
14:42
Rating:


Tidak ada komentar